Prolog pertama
Beberapa waktu lalu, dunia literasi dihebohkan dengan kasus buku "WHY" yang diterbitkan sebuah penerbitan nasional di Indonesia. Buku yang diterbitkan berupa komik edukatif ini salah satu kontennya berisi propaganda LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Bagaimana mungkin mayoritas umat Islam yang menjunjung tinggi syariat Islam menerima pemikiran yang dengan sengaja disebarkan melalui buku-buku anak.
Ini kasus yang sudah tidak wajar sekali. Dan saya rasa bukan human error. Karena di dalam dunia penerbitan, ada yang namanya penulis, editor, layouter, first reader dan penerjemah tentunya (jika buku terjemahan), Dari awal seharusnya sudah bisa membaca, ke arah mana buku ini diarahkan. Dan menurut saya ini bukannya tidak disengaja. Ini dibiarkan!
Ini adalah kesalahan penerbit yang melakukan pembiaran terhadap buku yang akan menimbulkan kontroversial dan bisa mengotori pemikiran anak-anak yang masih bersih. Sama sekali tidak ada sensor.
Saya sangat prihatin dan terus terang terguncang. Takut buku-buku sejenis sudah terlanjur dibaca oleh anak-anak saya. Makanya, sekarang saya lebih ketat lagi dalam pertimbangan membeli buku untuk anak-anak. Terutama buku-buku terjemahan. Harus dikuliti, dibedah dulu oleh saya sebelum diberikan kepada anak-anak.
Prolog kedua
Beberapa hari yang lalu, saya sempat kecewa membaca sebuah buku yang saya kira, dari judulnya menarik sekali. Ajakan bahwa menulis itu mudah. Ditulis oleh penulis yang sudah lumayan terkenal juga. Saya tidak akan menuliskan siapa namanya atau apa jduulnya. Saking ngetopnya, saking seringnya itu buku dipromosiin, saya tidak mau pembaca jadi tebak-tebak buah manggis, enggak ketebak nangis. Hehehe
Lanjut!
Dengan semangat 45, saya pun bersiap membacanya. Saya baca dulu daftar isinya. Keren! Kebiasaan saya membaca dari belakang, tidak saya lakukan. Saya lanjut membaca terus dari depan. Iya. Ini gara-gara judulnya yang keren punya itu heuheu
Saya pun sampailah di bab pertama, paragraf pertama. Sungguh saya kecewa. Ini penulis terkenal. Guru belajar menulis pula. Kok paragraf pertamanya seperti ini? Saya bolak-balik membaca kalimat perkalimat. Dan saya ngos-ngosan. Saya pun husnudzon, mungkin ini bukunya yang terbit pertama kali. Pastinya, tidak ada naskah yang tak retak (mengutip kata-kata pak Bambang Trim). Bisa jadi, ini karena saya berharap banyak pada penulis buku itu, dia akan menyajikan buku dengan apa yang saya harapkan. Ternyata, jauh dari ekspektasi saya. Atau ekspektasi saya yang ketinggian! Ehmmm ...
Sebenarnya buku itu bagus, malah sangat bagus menurut saya. Dari segi isi. Karena, isinya berdasarkan pengalaman si penulis. Saya suka buku-buku yang ditulis berdasarkan pengalaman penulis. Terutama buku nonfiksi. Saya suka orang-orang hebat. Saya suka ditulari semangatnya, kerjakerasnya, keistiqomahannya dan kesederhanaannya. Dan kalau ada yang sukses, tentu suka juga ikutan jadi sukses nantinya ^_^
Kesimpulannya: saya suka buku itu, tapi penyajiannya yang kurang sreg aja heuheu itu mah relatif kali ya. sampai saya berfikir, ini editor kemana ya? seharusnya kan editor jadi mata kloningannya penulis. (ga tega bilang mata ketiga, ntar sama dengan D :p, amit-amit naudzubillah)
Banyak sih suka duka membeli buku. ada yang bener cover yang eye catching, judul yang menarik, isi yang bermutu dll juga banyak yang sudah pas :-)
Tapi ada juga yang covernya keren, judulnya keren. Iustrasinya oke, tapi pas baca isinya, buku teks banget. Jangan-jangan semua buku teks yang jadi referensinya, nempel semua di buku itu :-) tinggal kisah-kisa inspiratifnya aja yang original :-)
Kembali lagi, tak ada naskah yang tak retak. Jadi, saya juga maklum banget. Apalagi saya juga kan penulis pemula. Belum tentu naskah saya lebih baik dari naskah yang saya nilai tersebut. Jadi bagi saya ketika membeli buku dan membacanya bisa jadi pelajaran menulis gratis. Baik itu buku non fiksi, fiksi, buku anak-anak, buku dongeng dan lain-lain.
Nah, Kalau begitu, Apa Pertimbangannya Dalam memilih Buku?
EES itu penting!
Eh apaan sih mak EES?
EES itu singkatan Edukatif, Entertainment dan Spiritual.
Pertimbangan saya dalam membeli buku kurang lebih seperti ini. Buku harus bermuatan edukatif (pendidikan), entertainment (hiburan) dan spiritual (bermuatan agama). Lain-lainnya: kalau itu buku anak, maka buku harus ramah anak dan ini sedikit sensitif, buku harus ramah dompet :-)
Gara-gara kasus WHY, pertimbangan saya semakin ketat pada buku-buku yang akan dibaca anak-anak. Buku terjemahan, maaf deh, nanti dulu. Saya sekarang lebih memilih membeli buku dari penulis penulis yang saya kenal kepribadiannya, kesholihannya dan interaksinya di dunia sosial media.
Di bawah ini beberapa koleksi di rumah saya. Masih ada lagi yang lain, tapi ini lumayan favorit juga :-)
Tidak hanya covernya yang eye cathcing, tapi isinya juga bagus (koleksi pribadi) |
Buku-buku yang sering dibaca anak-anak saya (koleksi pribadi) |
Buku yang bermuatan edukatif berupa komik asyik (koleksi pribadi) |
ilustrasi di dalam yang membuat buku hidup (koleksi pribadi) |
Nah, yang lebih seru lagi, kalau mau buku gratisan, kita duduk manis di kuis manis. Kalau beruntung, bisa mendapatkan durian runtuh. Buku anak akan meluncur ke rumah kita berpaket-paket heuheu
Selain itu, ada yang namanya Jum'at hangat. Karya member yang ingin dibedah, boleh dikirim di grup. Nanti temen-temen penulis senior dan editor yang kebetulan sedang ada di grup akan memberikan masukan untuk naskah kita. Asyik kan?
Nah, kalau yang ini hasil karya saya selama menjadi anggota Paberland. Kamu juga bisa lho seperti saya. Menghasilkan buku sekaligus berteman dengan penulis keren! Buku-buku di bawah ini hasil belajar pada para guru di Paberland.
Buku hasil karyaku (koleksi pribadi) |
Alhamdulillah banyak manfaatnya menjadi member Paberland lho. Yang belum daftar, daftar deh sekarang. Sedang ada audisi menulis buku anak di sana.
Masalah Krusial Di Dunia Penerbitan Indonesia, Apa Sih?
Ini hasil analisa saya yang sebenarnya belum memiliki kapasitas sebagai pengamat. Anggap saja saya pengamat buku yang abal-abal :-)
1. Menurut saya, IKAPI sebagai organisasi profesional yang menaungi semua penerbit di Indonesia sudah bagus kerjanya. Hanya saja, kurang sosialisasi ke masyarakat awam saja mungkin ya. Kalau masyarakat yang melek baca, terlibat dalam proses penerbitan buku dan bahkan menjadi penulis atau pengamat literasi Indonesia, mereka pasti tahulah satu-satunya organisasi penerbitan Indonesia.
Tapi bagaimana dengan masyarakat awam? Mungkin IKAPI bekerjasama dengan pemerintah membuat iklan di televisi pemerintah tentang pentingnya membaca buku. Kemudian disebutkan lembaga-lembaga yang terkait dengan penebritan buku dan pensortiran buku.
2. Dari buku Apa Dan Bagaimana Menerbitkan Buku, karya pak Bambang Trim. Diketahui bahwa masih banyak penerbit, terutama penerbit self publishing yang menolak menjadi anggota IKAPI. Padahal, dengan menjadi anggota IKAPI, mereka akan banyak mendapatkan keuntungan, selain keuntungan diakui bukunya secara nasional dan internasional juga menjadi aset sumber intelektual bangsa. Karya-karya akan tercatat di perpustakaan nasional dan diakui oleh perpustakaan internasional, karena ada ISBN.
Mengurus ISBN mudah kok, malah katanya gratis. Yang membuat sulit itu adalah ketika penerbit (abal-abal) ini memanipulasi biaya. Terutama pada penerbit self publishing yang baru berdiri dan gencar membuat buku antologi. Penulis antologi diperes idenya, eh setelah itu diperes juga duitnya.
IKAPI harus tanggap atas beberapa kasus tak menyenangkan di dunia literasi ini. Harus menindak tegas penipu-penipu intelek ini sehingga ada efek jera tidak memanfaatkan penulis yang tidak tahu keberadaan IKAPI sebagai polisi literasi. Banyak penulis antologi yang naskahnya tidak ada kabarnya, buku tidak ada, apalagi royalti. Kalau pun dijual putus biasanya sangat-sangat tidak sesuai dengan kerja keras penulis memeras ide dan menulisnya sebagai tulisan yang inspiratif.
3. Untuk mencegah terjadinya kasus buku WHY, menurut saya ada baiknya IKAPI, Penerbit dan pemerintah, duduk bersama dalam menentukan konsep buku yang sesuai dengan adat ketimuran Indonesia dan tentunya konten yang menghormati agama terbesar di Indonesia. Saya yakin, sebagai umat beragama, agama apapun, akan menolak paham LGBT ini.
Akhir dari tulisan ini, saya tekankan kembali, tidak ada naskah yang tidak retak, oleh karena itu kesadaran dan kejujuran penerbit dan penulis dalam menghasilkan buku yang berkualitas akan sangat membantu para keluarga dan pecinta buku menjadi manusia-manusia intelek yang berkarakter dan berbudi bahasa.
Karena bahasa menunjukan bangsa. Buku sumber intelektual bangsa.
Post a Comment
Post a Comment
iframe komentar