Cerpen ini aku sharing dalam rangka Hari Ibu dan mengenang mamaku yang telah lama tiada. Cerpen yang aku ajukan untuk sebuah antologi cerita ibu, tetapi wallahu'alam sampai hari ini aku enggak nerima laporan kelanjutannya. Jadi, aku share aja di sini. Siapa tahu ada yang sedang belajar membuat cerpen. Semoga bisa dipetik hikmahnya. Cerpen ditulis dalam format TNR (Time New Roman), font 12, ukuran 1,5 spasi.
***
Mama Malaikatku Tersayang
Oleh : S. Widiyastuti
Berbicara tentang Mama, selalu membuatku
mengurai air mata. Bagiku Mama adalah malaikat rapuh yang gagah melindungi
anak-anaknya, peri-peri kecil titipan dari Rabb sang penguasa jiwanya.
Mama meninggal di usia yang masih muda karena Allah lebih sayang padanya. Jika aku mengingat betapa Mama terlihat
gagah, tapi sebetulnya di dalam tubuhnya dia ringkih. Mama begitu rapi menyembunyikan penyakitnya kepada kami,
sampai akhirnya membawanya kembali menghadap
Ilahi Rabbi.
Kejadian yang paling menohok,
membuatku sedih dan selalu terkenang adalah ketika Mama menanyakan pasangan
hidupku.
Waktu itu, aku baru saja
menyelesaikan studiku di Universitas Negeri di Semarang. Aku pulang untuk
meminta restu Mama dan mengajaknya untuk menghadiri wisudaku. Tetapi, ternyata
Mama tidak bisa melakukan perjalanan jauh. Mama mengidap penyakit Hepatitis
tipe B dan harus menginap di Rumah Sakit selama berbulan-bulan. Dan aku baru
saja mengetahuinya, hari itu ketika aku pulang untuk memohon restu.
“Sari, kapan kamu akan menikah?”
tanya mama dengan suara lemah.
“Belum tahu Ma…”jawabku singkat. Ditanya
seperti itu aku gelagapan. Aku tidak berani menatap matanya.
“Kau kan sudah selesai kuliahnya,
sekarang tinggal mencari jodohlah.”
“Iya, Ma. InsyaAllah kalau memang
sudah ada, pasti akan Sari perkenalkan pada Mama. Sari janji.”
“Kalau sudah ada, bawalah kesini,
sebelum mama meninggal…”
“Mama…Mama pasti sembuh Ma. Jangan
bilang begitu..insyaAllah kalau sudah ada jodohnya pasti ada yang datang. Suatu
hari nanti Mama….” sebetulnya aku sendiri tidak tahu pasti, apa benar jodoh itu
akan datang secepat itu?
Kulihat Mama memandang
langit-langit dengan pandangan yang kosong. Aku merasa berdosa sekali. Kudekati
dia, dan memeluknya. Kurasakan cairan hangat di dadaku. Mama menangis. Ya
Allah, aku pun akhirnya tidak bisa membendung air mata yang jatuh menganak
sungai.
“Mama, maafkan aku ya, Ma. Aku
bukannya tidak ingin menikah lebih cepat lagi, tetapi aku harus menikah dengan
siapa? karena belum ada seorang pun yang datang kepadaku Ma,” bisikku di
telinga Mama.
Seminggu aku di rumah, tetapi tidak
ada yang aku lakukan untuk Mama. Aku begitu canggung sejak ditanyakan soal
jodoh oleh Mama. Kak Wati yang lebih banyak merawat Mama. Dia adalah anak
pertama teladan menurutku. Semua beres jika di tangannya. Dan aku heran, kenapa
Mama tidak menanyakan kak Wati untuk menikah lebih dahulu? Kenapa harus aku?
Sebelum aku kembali ke Semarang,
Mama membuat syukuran kecil untuk wisudaku. Bude, Om dan Tante diundangnya ke
rumah untuk merayakan keberhasilanku menyelesaikan kuliah.
Aku sudah mencegahnya karena Mama
masih lemah, tetapi Mama begitu sayang padaku dan tidak ingin mengecewakanku
karena tidak bisa hadir di wisudaku. Aku memang ingin sekali Mama dan Papa bisa
hadir di prosesi wisudaku, tetapi Mama sakit dan aku tidak ingin memaksanya
pergi.
Kulihat kebahagiaan terpancar dari
wajahnya yang tirus. Mama begitu bangga padaku. Mama juga mengatakan, sebentar
lagi Mama akan mendapatkan menantu dariku. Ya Allah, aku tidak sanggup
memandang mata-mata bahagia itu. Aku belum tahu apakah memang akan sampai
jodohku dalam waktu dekat?
***
Aku
pun akhirnya di wisuda didampingi kak Wati atas restu Mama dan Papa. Aku
bahagia sekaligus sedih sekali. Kulirik teman-teman yang berfoto bersama dengan
keluarga besarnya, dengan Mama dan Papanya. Tetapi tidak demikian dengan aku.
Aku hanya berfoto sendiri dan di foto dengan kak Wati saja.
Memang
ketika di rumah aku sempat membawa toga dan jubah wisudaku dan kami berfoto
bersama, tetapi suasananya berbeda.
“Sari,
kok sepertinya kamu tidak bahagia ya?”
“Kak
Wati, kenapa semua orang menyembunyikan sakitnya Mama padaku? Apa aku tidak
berhak tahu semua yang terjadi di rumah?” aku meradang pada kak Wati.
“Sari,
itu semua demi kebaikanmu. Mama yang mencegahnya memberi kabar padamu.” cetus Kak Wati tak kalah masygul.
“Tapi
aku berhak mendapatkan kebenaran itu!” kataku tak bisa menyembunyikan
kekesalan.
“Mama
tahu kamu sedang menyelesaikan skripsimu dan tidak ingin mengganggu dengan
kabar buruk tentang Mama!” imbuh kak Wati dengan nada yang mulai tinggi. “Apa
dengan tahu keadaan Mama kamu akan perduli dengan keadaan Mama? Kamu pikir kamu
bisa merawat Mama dengan baik? Apa yang sudah kamu lakukan untuk Mama? Apa?”
kak Wati mulai berteriak histeris di telingaku.
“Ya,
kak Wati memang benar! Aku memang tidak pernah merawat Mama, tidak pernah
membuat Mama senang. Tapi, apakah aku tidak berhak untuk mendengar kabar Mama
di saat sakitnya?” aku pun balas berteriak pada kak Wati. Aku menangis dan
meninggalkan kak Wati seorang diri.
Kak
Wati memang benar aku memang tidak pernah perduli dengan apa yang terjadi pada
Mama. Aku tidak pernah berkata sopan dan lembut pada Mama. Aku begitu manja dan
banyak menyakiti hati Mama.
Tetapi,
apakah mereka berhak menjauhkan aku dari Mama? Apalagi ketika Mama sedang
sakit. Aku merasa sedih sekali, seolah-olah aku tidak pantas merawat Mama di
saat dia membutuhkan perawatan dariku.
Aku
harus segera pulang. Aku tekadkan hati untuk segera kembali ke rumah. Kak Wati
besok akan segera kembali ke rumah. Sementara aku harus mengembalikan toga dan
jubah. Membereskan segala macam tetek bengek terkait dengan akhir dari studiku.
Waktu
pun seakan berjalan lambat, legalisir ijazah menghisap waktuku untuk segera
kembali ke rumah. Argghh, aku benci sekali saat-saat itu. Aku rindu sekali
kepada Mamaku. Walaupun aku bisa meneleponnya dan Mama mengatakan bahwa dia
semakin merasa sehat, tetapi aku ingin segera bertemu dengannya.
Akhirnya,
setelah 10 hari berjibaku, selesai sudah semua tugasku di Semarang. Ketika aku
bersiap-siap membereskan semua barangku untuk di bawa pulang ke rumah. Mbak Dini, ibu kostku mengabari bahwa tadi pagi ketika aku sedang ke kampus, ada
telepon dari Bogor, jantungku berdetak kencang. Entah mengapa hatiku berdebar
tidak karuan.
“Sari,
yang sabar ya Nduk. Mamamu tadi pagi….”
“Kenapa
dengan Mama mbak? Masuk rumah sakit lagi? Mau ke sini, atau…” kuguncang
tangannya tak sabar. Kulihat airmatanya menderas di pipinya. Aku sudah tahu apa
yang telah terjadi. Dia peluk aku dengan erat dan berbisik,
“Nduk,
Mamamu telah meninggal tadi pagi, yang sabar ya Nduk….sabarrrr.” katanya sambil
mengusap punggungku. Aku terdiam kaku, tidak tahu apa yang akan aku lakukan.
Irma, teman sekamarku mendatangiku dan mengusap lembut punggungku.
“Sari,
semua sudah takdir dan kehendak Allah. Jika kamu pulang segera pun sama saja,
tidak ada yang bisa mencegah kematian,” katanya lembut.
“Tapi
Irma, aku ingin sekali merawat Mamaku sebentar saja, aku ingin mengatakan bahwa
aku mencintainya. Aku ingin memberikan yang terbaik di sisa hidupnya, Irma.” jawabku penuh sesal.
“Apa
aku tidak berhak untuk itu, Ir?” Aku mulai menangis tersedu-sedu. Rasanya ada
yang hilang dalam hatiku mengingat Mama telah tiada.
“Sudahlah,
Sari. Ayo kita sholat Ghaib, do’akan Mamamu dari jauh, semoga menjadi amal
shalih baginya.” Irma mengajakku berwudlu dan kami pun shalat Ghaib berdua, di
kamar kami yang sempit.
****
Kulihat
gundukan tanah merah dengan bunga yang masih segar di atasnya. Mamaku telah
tertanam di sana dan aku tidak sempat memandang wajahnya barang sebentar.
Di atas
pusara itu, aku curahkan kerinduanku padanya, penyesalanku padanya tidak bisa
merawatnya ketika sakit.
Terbayang
kasih sayangnya kepadaku ketika aku masih kecil. Mama mengajariku menggambar
gunung dan sawah, juga sebuah rumah kecil di tengah sawah yang permai.
Mama juga menguncir dan mengepang
rambutku dengan sabar, meskipun aku berlari ke sana ke mari karena tidak ingin
di sisir.
Mama
begitu lembut mengajariku membaca dan menulis. Mengajari aku bernyanyi dan
bercerita ketika kami akan tidur.
Mama
mengantarku ke sekolah dan menemaniku sampai aku pulang sekolah. Membelaku
ketika teman sekolah mengataiku dengan kata-kata yang jelek dan mengelus
kepalaku ketika aku menangis karena jatuh.
“Oh,
Mama, kini kau telah tiada. Aku belum melakukan apapun untukmu Mama. Aku sayang
Mama, sebagaimana Mama sayang padaku. Terimakasih atas semua kasih dan cintamu
Mama, sehingga aku menjadi aku saat ini.”
Kuusap
pusara Mama dengan lembut. Aku tahu Mama tidak akan bangun lagi dan memelukku
seperti biasanya. Tetapi aku yakin, semua pengorbanan dan do’a-do’a yang Mama
lantunkan untuk kami anak-anakknya, adalah bukti kasih sayangnya pada kami.
***
Pagi
yang cerah, kami membereskan semua barang-barang Mama. Pandanganku tertumbuk
pada sehelai bed cover yang terlipat rapi di tempat tidur Mama.
“Itu
untukmu Sari.” Seperti tahu isi hatiku, kak Wati menyodorkan bed cover itu
padaku.
“Mama
yang membuatnya ketika sakit,” imbuhnya lagi.
Kucium
lembut bed cover itu, wangi tubuh Mama masih ada di sana. Kulihat coraknya.
Abstrak tetapi menarik. Warna-warni seperti pelangi. Seperti patchwork yang selalu aku idam-idamkan.
Jahitan tangan Mama.
“Ah,
Mama, terimakasih Mama. Dalam sakitmu, engkau masih ingat padaku.” Kupeluk bed
cover itu dengan dada sesak karena menahan tangis. Air mata seperti enggan
berhenti menemaniku bergelung rindu pada Mama.
Ya Allah, sayangi Mamaku, masukanlah dalam
Jannah-Mu. #HariIbuKEB
Rewrite, Bogor 23 Desember 2013
Teriring doa anak sholeh kepada kedua orang tuanya
"Rabbighfirli waliwalidayya warhamhumma kama rabbayani shogiro"
"Rabbighfirli waliwalidayya warhamhumma kama rabbayani shogiro"
"Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil."
Post a Comment
Post a Comment
iframe komentar