Hamil dan melahirkan, merupakan anugerah terbesar dan terindah dari Allah bagi seorang wanita menikah. Semasa masih gadis dan menjelang menikah, aku merasa takut tidak bisa hamil dan memiliki anak. Rasanya aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan berumah tangga. Apalagi usiaku disaat menikah usia yang sudah hampir lewat masa subur, 27 tahun. Ketakutan yang sangat beralasan sekali menurutku.
Alhamdulillah ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Lepas pernikahan kami di bulan Januari 2001, bulan Februari aku dinyatakan positif hamil. “Alhamdulillah”. Itu kata pertama yang keluar dari mulutku saat itu ketika mengetahui test packmenunjukan 2 strip biru. Senang? Tentu saja!! Kalau tidak malu, mungkin saat itu aku akan meloncat-loncat seperti anak kecil mendapatkan balon. Begitu juga dengan suami, dia langsung mengabari kedua orangtuanya.
Diusia pernikahan kami yang baru berumur sebulan, aku hamil. Dari mulai saat itu suamiku menjagaku bak seorang putri, bagaikan gelas yang mudah pecah. Rapuh. Dia hati-hati sekali dan penuh perhatian. Sebelum menikah kami tidak saling mengenal satu sama lain. Hanya selang 2 bulan setelah khitbah kami menikah. Ohh indahnya pacaran setelah menikah. Hamil lagi!!. Double deh bahagianya.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ternyata menjadi wanita hamil tidak mudah. Perasaan tertekan, sakit dan ketakutan janin keguguran menghantuiku. Di trimester pertama tiap pagi aku langganan ke kamar mandi dan memuntahkan segala isi perut sampai lemas sekali. Suamiku hanya bisa memandang dengan prihatin. Aku tidak tahan dengan segala macam bau-bauan, sampai bau khas badan suamipun aku anti sekali. Aku sama sekali tidak bisa masak di dapur. Alhamdulillah ibu dan bapak mertua tidak complain. Mereka sangat maklum dengan keadaanku.
Selain itu muncul masalah baru, keluar flek diawal kehamilanku. Karena takut terjadi apa-apa dengan bayi yang aku kandung, kami datangi dokter untuk melakukan pemeriksaan.
“Lebih baik kehamilan dihentikan atau anak ini lahir cacat.” begitu kata dokter saat itu usai pemeriksaan dengan nada datar. “Duh gusti, dokter yang tidak ada basa-basi sama sekali”. rutukku dalam hati. “Astaghfirullah” aku istighfar berkali-kali. Hatiku pecah berkeping-keping. sedih sekali. Airmata membanjiri wajahku. Suamiku memeluk dan membesarkan hatiku dan mengajak mendatangi dokter yang lain.
Akhirnya hari berikutnya kami mendatangi dokter lagi. Alhamdulillah hasil pemeriksaan second opinion doctor ini menyarankanku untuk istirahat total sampai janin kuat. Dokter mendiagnosis adanya plasenta previa atau plasenta letak rendah. Sekitar 90 % kasus – kasus plasenta previa yang didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu akan mengalami perubahan pada akhir kehamilannya. Kedudukan plasenta yang abnormal menyebabkan flek pada kehamilan. “Alhamdulillah”, syukurku pada Allah tak henti-hentinya. Harapan itu masih ada.
Sejak itu aku bed rest dan makan makanan yang bergizi. Banyak makan buah-buahan dan minum susu secara teratur. Suamiku pun memberikan perhatian lebih sekali kepadaku ditengah kesibukannya menjadi asisten dosen di sebuah universitas negeri di Bogor dan menyusun tesis S2. Kadang akupun membantu mengoreksi ujian mahasiswanya dan membantu mengetikan bahan tesisnya.
Waktu terus berputar. Suamikupun lulus ujian tesis dan diwisuda dibulan September. Aku mendampingi suami wisuda dengan perut yang semakin buncit, tapi dengan kebahagiaan yang hampir mencapai sempurna.
Tanggal 28 oktober adalah due date anak pertama kami lahir. Tetapi aku harus menerima kenyataan suamiku tanggal 4 Oktober berangkat ke negeri Sakura. Dia mendapat beasiswa dari Monbukagakusho, beasiswa dari pemerintah jepang untuk meneruskan S3 disana. Aku bersyukur sekaligus sedih sekali. Ingin ikut bersamanya. Tetapi kehamilan sudah mencapai puncak. Mana mungkin terbang dengan perut bengkak. Aku tidak bisa melakukan penerbangan karena hamil besar.
Setelah keberangkatan suamiku, waktu yang ditunggu akhirnya datang juga. Alhamdulillah persalinanku lancar walaupun harus sabar menjalani kontraksi selama sehari setengah. Membuat aku mempertimbangkan untuk tidak hamil dan melahirkan anak lagi.
Saya dan suami ketika anak kami baru 2 orang di Utsunomiya Daigaku, Japan |
Anak pertamaku lahir tanggal 20 Oktober 2001. Seminggu lebih cepat dari perkiraan lahir. Prosesnya normal. Dan keadaan waktu lahir lengkap sempurna. Seorang bayi perempuan yang cantik. Berat badan 3100 gram, tinggi badan 49 cm. Aku menangis saat itu. Teringat kata-kata dokter yang pertama kali kami datangi untuk periksa kehamilan. Rasanya tidak sanggup harus menerima kenyataan memiliki anak cacat sendiri, sementara suami di negeri sakura. Tapi Allah Maha Sempurna dengan ciptaannya yang sempurna. Alhamdulillah…subhanallahu…Allahu Akbar. Tak henti-hentinya aku bertasbih memuji kebesaran Allah. Setelah dilakukan inisiasi menyusui dini (IMD), aku biarkan perawat membawa bayiku untuk diazani dan diqomati oleh kakak pertamaku.
Aku berjanji akan memelihara Amanah Ilahi ini dengan sungguh-sungguh; sepenuh hati, akan aku sayangi dan limpahkan segenap apa yang aku miliki, mempersiapkan pendidikannya, menjaga kesehatannya dan mengutamakan kesejahteraannya, apapun biayanya. Aku tidak mau setengah-setengah. Lebih baik satu terawat baik daripada banyak tapi terlantar.
Beberapa waktu sebelum kami hijrah ke negeri Sakura. Aku dan keluarga kecilku berpamitan dengan keluarga besar. Aku bertemu dengan kakak sepupu yang anaknya sudah 3 dan sedang hamil lagi. Aku merasa heran dengan sepupuku yang rajin sekali “memproduksi” anak itu. Masak tidak terpikirkan olehnya sih kalau pendidikan semakin mahal, kesehatan yang tidak ada jaminan dari pemerintah, kasih sayang yang mungkin akan tidak adil kepada anak-anak dan lain-lain. Prinsip “banyak anak banyak rejeki” itu sudah tidak bisa dipakai di zaman sekarang, sudah kadaluwarsa, sudah ga jaminan.
Kakak hanya tersenyum-senyum menanggapi kekhawatiranku. Jangan-jangan masuk kiri keluar kanan. Anak sudah tiga berturut turut begitu. Siapa yang tidak khawatir melihat kegetolan dia hamil lagi hamil lagi. Suaminya juga kok tidak ada tenggang rasa pada istri sama sekali. Dasar laki laki, yang dipentingkan hanya dirinya sendiri.
Jika ingat pandanganku pada kakak pada saat itu, aku sering tersenyum-senyum sendiri. Mentertawai diriku sendiri. Kini bisa dimengerti mengapa kakak kecanduan hamil. Ya, sejak aku hijrah ke negeri Sakura pola pikirku tentang hamil berubah 180 derajat. Bukan karena hamil dan melahirkan disini mendapat tempat istimewa dan mendapatkan uang selamatan 300.000 yen dari pemerintah jepang. Tetapi ada hal lain yang lebih penting dari itu. Setiap aku hamil, ada sensasi lain yang berbeda dalam diri ini. Kata suamiku, aku lebih cantik, lebih seksi dan lebih kuat. Hohoho kuat apanya nih?!
Sejak itu aku hamil setiap 2 tahun sekali. Aku lebih kuat menghadapi morning sick selama kehamilan. Anak-anakku pun aku susui ASI sampai usia 2 tahun. Semua urusan domestik aku tangani sendiri, tidak ada saudara yang membantu atau orangtua yang sekedar berkunjung. Tidak. Semua aku lakukan sendiri. Dan Alhamdulillah aku juga masih bisa beraktivitas diluar rumah tanpa hambatan. Berkah merantau di negeri orang menjadikan aku mandiri dan kuat. Kebahagiaanku lengkap sudah.
Sehari setelah melahirkan anak ketiga di Chikazawa Klinik, Utsunomiya, Japan |
Selain itu Mama adalah inspirasiku. Beliau wanita yang tangguh, hebat dan mampu mendidik dan mengasuh kami seorang diri. Mama tidak dibantu siapa-siapa ketika mengurus 7 anaknya ketika kami kecil. Pokoknya two thumbs up deh buat mama-ku. Kalau saja beliau masih ada disisi kami, mungkin mama akan bangga sekali dengan anak dan cucu yang kini mengelilinginya.
Yang paling mengesankan lagi, Mama awet muda! Kata temanku yang dokter hewan, dia melakukan penelitian bahwa hewan yang banyak anaknya lebih awet muda daripada hewan yang tidak memiliki anak. Entah penelitian ini bisa dipakai untuk manusia atau tidak, tapi aku percaya 100% bahwa hamil akan membuat seseorang awet muda! Dan kini kubuktikan sendiri! Tidak ada satupun orang percaya pada usia biologisku, kecuali orang yang tidak ridlo dengan kebahagiaanku, mungkin.. Bagaimana tidak?..
Aah.... siapa yang masih ingin ini itu kalau bangun pagi sudah disiapkan pancake oleh si sulung sekalian untuk adik adiknya, nasi goreng oleh suami, sementara si tengah sedang mandi sendiri sambil berceloteh riang.
Aaaah.... siapa yang masih ingin ini itu sewaktu semua lengkap disini. Dendang hatiku riang sambil meraba buncit perutku. Buncit hamil kami yang kelima.
Alhamdullilah bu
ReplyDeleteTerima kasih :-)
DeleteHehehe jadi deg deg an nie bu karena istri saya hamil anak pertama kami mudah2an semua lancar.
ReplyDeleteTerimakasih bu atas motifasinya
sama-sama pak ... moga lancar persalinannya ya :-)
Delete